Optimiskah atau Terlalu Bersemangat?

Dalam setiap seminar pengembangan kepribadian sang motivator pasti berusaha membangkitkan optimisme dalam diri kita, baik itu menjalani hidup atau pun melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Biasanya mereka akan memberitahukan segala teknik ampuh bagaimana menumbuhkan jiwa optimisme dalam diri kita.

Setiap motivator memiliki keunikan sendiri dalam pendekatan membimbing peserta yang tidak ditawarkan oleh motivator lainnya. Saya pribadi cenderung membagi pendekatan mereka menjadi tiga, yakni: penekanan kepada IQ (Inteligent Quotient) berupa pengembangan soft skill, penekanan kepada EQ (Emotional Quotient) dan terakhir pendekatan kepada SQ(Spiritual Quotient). Perbedaan mengenai ketiganya dibahas dalam tulisan saya sebelumnya .

James Gwee, Tung Desem Waringin merupakan motivator-motivator yang menggunakan pendekatan IQ, karena mereka berdua selalu memberikan tips-tips jitu bagaimana secara cepat dan ampuh mengembangkan diri kita pribadi. Sementara Anthony Dio Martin, Andre Wongso merupakan motivator-motivator yang menekankan penggunaan EQ. Lainnya seperti Mario Teguh dan Ary Ginanjar lebih menitikberatkan kepada setiap tindakan kita dengan Sang Pencipta (SQ).

Tidak ada yang salah pada pendekatan-pendekatan yang mereka lakukan. Setiap orang mungkin membutuhkan pengembangan yang berbeda-beda. Orang yang secara spiritual bagus, belum tentu juga dia menguasai soft skill yang ditawarkan motivator IQ. Orang yang memiliki EQ yang rendah belum tentu juga memiliki kemampuan SQ yang tinggi, contohnya saja Hitler.

Hitler saya yakini memiliki kemampuan EQ yang tinggi. Dengan orasi-orasinya dia dapat membangkitkan kemampuan bangsa Aria (baca:negara Jerman) mengikuti kemauan dia. Namun sayangnya kemampuan yang dia milikinya ditujukan untuk hal yang desktruktif (menghancurkan) dengan menimbulkan peperangan dunia.

Bagi orang yang sering imengikuti seminar motivasi, mereka akan berapi-api memandang hidup ini secara positif, khususnya setelah seminar itu berlangsung.  Namun tidak berapa lama, kurang lebih satu bulan ke depan setelah seminar, seolah diri mereka kembali lagi menjadi pribadi yang belum tersentuh oleh seminar yang pernah diikutinya itu.

Teman saya pernah mengemukakan pikirannya sendiri menyetujui pendapat saya. Dia sendiri suka akan seminar-seminar motivasi, namun seringkali seminar itu hanya membangkitkan motivasi pada awalnya saja. Setelah itu, dia kembali melempem. Menurutnya, seminar motivasi yang banyak diadakan justru membuat candu bagi pesertanya, bukan menjadikan diri mereka mandiri. Apalagi forum-forum dan group-group pembicara seminar juga mulai didirikan. Para peserta bisa langsung berinteraksi dengan pembicara secara langsung bertanya mengenai permasalahan yang dihadapinya. Memang tidak setiap jawaban bisa langsung memuaskan, biasanya jawaban komprehensif baru diketahui jika peserta itu berada dalam seminar yang diadakan pembicara tersebut.

Apakah candu bersikap positif itu bagus? Bagus menurut saya jika orang itu sendiri yang menetapkannya tanpa tergantung seminar-seminar yang dihadirinya. Artinya orang itu sendiri yang menguatkan interpersonal skill miliknya. Seminar-seminar yang diikutinya hanya merupakan pemantik atau langkah awal membangkitkan intepersonal skill yang dimilikinya.

Namun sayang banyak orang yang termotivasi sulit membedakan apakah dirinya sebenarnya termotivasi atau hanya semangat saja tertular suasana positif seminar. Jangan-jangan sebenarnya mereka terlalu bersemangat saja, tetapi tidak termotivasi. Hal ini dapat kita ketahui setelah mereka dihadapkan kepada kebuntuan-kebuntuan setelah mereka menerapkan langkah-langkah yang dianjurkan pembicara seminar dalam meningkatkan interpersonal skill yang dimiliknya. Apakah mereka tetap optimis ataukah tidak itu akan terjawab dengan sendirinya.

Jika mereka kebingungan dan membutuhkan motivasi lagi supaya yakin dengan tindakannya, saya rasa dia hanya semangat saja namun belum termotivasi. Namun jika memang orang itu telah termotivasi, setiap langkah yang diambilnya menemui jalan buntu, maka dia akan terus mencari jalan lain supaya dia mencapai tujuan. Jika buntu lagi, dia terus mencari jalan yang lain lagi, yang belum pernah dipakainya. Intinya mereka selalu siap siaga dan mencari cara baru mengatasi kebuntuan mereka tanpa ketergantungan oleh seminar motivasi.

Dengan demikian bisa kita simpulkan antara optimisme dengan semangat itu merupakan dua hal yang berbeda. Orang yang optimis, pastilah dia memiliki semangat, namun tidak berlaku sebaliknya. Orang yang semangat belum tentu optimis. Buktinya banyak juga orang-orang yang semangat merendahkan dirinya sendiri, sementara banyak orang lain menganggap dirinya mampu mengatasi masalah yang dihadapinya. Apakah itu sebuah optimis? Saya rasa tidak. Jangan lupa optimis!

Tinggalkan komentar